23 Februari 2009

Sebuah renungan tentang Takdir


Bukan kita yang memilih takdir, Takdirlah yang memilih kita.
Bagaimanapun, takdir bagaikan angin bagi seorang pemanah. Kita selalu harus mencoba untuk membidik dan melesatkannya di saat yang paling tepat.

-Salahuddin al Ayyubi-


Tak jarang terdengar ungkapan putus asa dari bibir makhluk yang diciptakan dengan sedemikian banyak kelebihan. Ungkapan-ungkapan itu meluncur begitu saja mengiringi suatu kejadian yang tak diharapkan terjadi. Ujung dari semua itu, hilangnya segala rasa syukur atas nikmat yang telah diberikan oleh-Nya. Dan yang biasa dijadikan apologi adalah ia yang bergelar takdir...

Sesungguhnya, apa yang disebut dengan takdir??

Takdir adalah suatu ketetapan akan garis kehidupan seseorang. Setiap orang lahir lengkap dengan skenario perjalanan kehidupannya dari awal hingga akhir. Hal ini dinyatakan dalam Qur'an bahwa segala sesuatu yang terjadi terhadap diri seorang sudah tertulis dalam lauhul mahfudz. Umat Islam memahami takdir sebagai bagian dari tanda kekuasaan Allah yang harus diimani. Secara sederhana takdir didefinisikan sebagai segala sesuatu yang sudah terjadi.

Untuk memahami konsep takdir, umat Islam tidak dapat melepaskan diri dari dua dimensi pemahaman takdir. Kedua dimensi yang dimaksud ialah dimensi ketuhanan dan dimensi kemanusiaan.
  • Dimensi ketuhanan
Dimensi ini merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al Quran yang menginformasikan bahwa Allah maha kuasa menciptakan segala sesuatu termasuk menciptakan Takdir.


  • Dimensi kemanusiaan
Dimensi ini merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al Quran yang meginformasikan bahwa Allah memperintahkan manusia untuk berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencapai cita-cita dan tujuan hidup yang dipilihnya.


Kesadaran manusia untuk beragama merupakan kesadaran akan kelemahan dirinya. Terkait dengan fenomena takdir, maka wujud kelemahan manusia itu ialah ketidaktahuannya akan takdirnya. Manusia tidak tahu apa yang sebenarnya akan terjadi. Kemampuan berfikirnya memang dapat membawa dirinya kepada perhitungan, proyeksi dan perencanaan yang canggih. Namun setelah diusahakan realisasinya tidak selalu sesuai dengan keinginannya. Manusia hanya tahu takdirnya setelah terjadi.

Oleh sebab itu sekiranya manusia menginginkan perubahan kondisi dalam menjalani hidup di dunia ini, Allah telah meperintahkan untuk berusaha dan berdoa untuk merubahnya, seperti termaktub dalam QS. Ar-ra'du : 11 yang artinya "... sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri...".


Usaha perubahan yang dilakukan oleh manusia itu, kalau berhasil seperti yang diinginkannya maka Allah melarangnya untuk menepuk dada sebagai hasil karyanya sendiri. Bahkan sekiranya usahanya itu dinialianya gagal dan bahkan manusia itu sedih bermuram durja menganggap dirinya sumber kegagalan, maka Allah juga menganggap hal itu sebagai kesombongan yang dilarang juga (Al Hadiid QS. 57:23).

Kesimpulannya, karena manusia itu lemah (antara lain tidak tahu akan takdirnya) maka diwajibkan untuk berusaha secara bersungguh-sungguh untuk mencapai tujuan hidupnya yaitu beribadah kepada Allah.


wallahu a'lam...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar