16 Desember 2009

Sebuah Tanya by Gie


Akhirnya semua akan tiba
pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui

Apakah kau masih berbicara selembut dahulu
memintaku minum susu dan tidur yang lelap
sambil membenarkan letak leher kemejaku ?

( Kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih,
lembah mendala wangi
kau dan aku tegak berdiri,
melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin )

Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
ketika ku dekap kau,
dekaplah lebih mesra,
lebih dekat ?

( Lampu-lampu berkelipan di jakarta yang sepi,
kota kita berdua,
yang tua dan terlena dalam mimpinya
kau dan aku berbicara
tanpa kata
tanpa suara ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita

Apakah kau masih akan berkata
kudengar derap jantungmu
kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta ?

( Haripun menjadi malam
kulihat semuanya menjadi muram
wajah2 yang tidak kita kenal berbicara dalam bahasa yang tidak kita mengerti
seperti kabut pagi itu )

Manisku, aku akan jalan terus
membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
bersama hidup yang begitu biru

22 November 2009

Akhwat-akhwat Kepunyaan Allah...


Dikisahkan bahwa ada seorang remaja putri bertanya pada ibunya: “Ibu, ceritakan padaku tentang akhwat sejati…”Rata Penuh

Sang ibu tersenyum sambil tengadah, dan menjawab…
Akhwat sejati bukanlah dilihat dari wajahnya yang manis dan menawan, tetapi dari kasih sayangnya pada karib kerabat dan orang disekitarnya.
Pantang baginya mengumbar aurat, dan memamerkannya kepada siapapun, kecuali pada pasangan hidupnya.
Dia yang senantiasa menguatkan iltizam dan azzam-nya dalam ber-ghadul bashar dan menjaga kemuliaan diri, keluarga, serta agamanya.

Akhwat sejati bukanlah dilihat dari suaranya yang lembut dan mempesona, tetapi dari lembut dan tegasnya tutur dalam mengatakan kebenaran.
Dia yang senantiasa menjaga lisan dari segala bentuk ghibah dan namimah. Pantang baginya membuka aib saudara-saudaranya.
Dia yang memahami dan merasakan betul jika Allah swt senantiasa mengawasi segala tindak-tanduknya.

Akhwat sejati bukanlah dilihat dari liuk gemulainya kala berjalan, tetapi dari sikap bijaknya memahami keadaan dan persoalan-persoalan.
Dia yang senantiasa bersikap tulus dalam membina persahabatan dengan siapapun, dimana dirinya berada. Tak ada perbendaharan kata “cemburu buta” dalam kamus kehidupannya.

Dia yang senantiasa merasa cukup atas nafkah yang diberikan sang suami kepadanya.
Tak pernah menuntut apa-apa yang tidak ada kemampuan pada sang qowwam ditengah keluarga. Sabar adalah aura yang terpancar dari wajahnya.

Akhwat sejati bukanlah dilihat dari bagaimana dia menghormati dan menyayangi orang-orang ditempat kerja, tetapi, dari tatacaranya menghormati dan menyayangi orang-orang di rumah dan sekitarnya.
Dia yang jika dilihat menyejukkan mata dan meredupkan api amarah.
Baitii Jannatii selalu berusaha ia ciptakan dalam alur kehidupan rumah tangga.
Totalitas dalam menyokong dakwah suami dan berdarma bakti mengurus generasi penerus yang berjiwa rabbani.

Akhwat sejati bukanlah dilihat dari banyaknya ikhwan yang memuji dan menaruh hati padanya, tetapi dilihat dari kesungguhannya dalam berbakti dan mencintai Allah, Rasulullah, dan pecintanya.
Pantang baginya mengikuti arus mode yang melenakan dan menyilaukan mata.
Dia yang selalu menghindari sesuatu yang syubhat terlebih hal-hal yang di haramkan-Nya.

Akhwat sejati bukanlah dilihat dari pandainya dia merayu dan banyaknya air mata yang menitik tetapi dari tabahnya dia menghadapi lika-liku kehidupan.
Dia yang pandai mengatur, membina dan menjaga keharmonisan rumah tangga.
Pancaran kasih sayang melesat tajam dari tiap nada bicara yang keluar dari bibirnya.
Dia yang memiliki perasaan yang tajam untuk selalu berbuat ihsan kala ditempat umum maupun kala sendiri.

Akhwat sejati bukanlah dilihat dari tingginya gelar dan luasnya wawasan tetapi tingginya ghirah untuk
menuntut ilmu dan mengamalkan syariat secara murni dan berkesinambungan…

Setelah itu, ia bertanya kembali…
“Adakah yang dapat memenuhi kriteria seperti itu, ibu?”

Sang ibu menjawab: “Adakah kau meragukan kesalehan para ummahatul mukminin?
Contohlah para istri dan puteri Rasulullah saw, bagaimana mereka bertindak tanduk, bagaimana mereka menyokong pasangan hidup mereka dalam menghadapi badai kehidupan, bagaimana mereka berdakwah, bagaimana mereka membentuk dan membina angkatan generasi rabbani…

Tauladanilah mereka…
Khadijah, Aisyah, Hafsah, Maimunah, Shafiyah, Fatimah Az-Zahra, dan para shahabiyah radiyallohu’anha ajma’in. Merekalah sebaik-baik perhiasan dunia itu. Ingatkah kau sabda Rasulullah saw:
“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita yang shalihah.” (HR. Muslim)

Dan juga firman-Nya yang mulia:
“…Dan oleh sebab itu, wanita yang shalihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara (dirinya dan harta suami) ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah (menyuruh) memeliharanya…” (QS. An-Nisaa’: 34)

Pelajarilah ini. Sambil memberinya sebuah buku, Sirah Shahabiyah. Pelajari dan amalkan. Tempalah dirimu supaya menjadi seperti mereka. Niscaya engkau akan menjadi akhwat sejati. Muslimah yang membuat iri dan cemburu para bidadari. Niscaya menjadi dambaan bagi mereka insan berjiwa rabbani. Menjadi dambaan mereka para hamba Allah yang tidak tertipu oleh gemerlapnya dunia yang semu.
Niscaya menjadi dambaan bagi mereka pemilik ruh dakwah dan jihadiyah.
Jika tidak demikian, tidak ada yang bisa menjaminmu untuk masuk kedalam surga-Nya.

Adakah surga dan kemuliaan itu dapat dibeli dengan banyaknya senda gurau dan gelak tawa? Sekali-kali tidak wahai anakku! Surga hanya dapat kau beli dengan kesungguh-sungguhan dalam beramal dan keikhlasan yang sangat untuk semata mengharap ridha Allah ta’ala.

Takutlah engkau pada suatu hal yang telah diramalkan Rasulullah saw dalam sabdanya:
“Aku diperlihatkan neraka ternyata kebanyakan penghuninya wanita yang kufur.
Para sahabat bertanya: ‘Apakah dia kufur kepada Allah?’ Rasulullah menjawab: ‘Tidak’. Mereka hanya kufur kepada suaminya, mereka mengingkari kebaikannya. Jika ia berbuat baik terhadap salah seorang diantara mereka, mereka menyanjungnya. Kemudian apabila terhadap sedikit saja kejelekan, ia berkata: ‘Aku belum pernah melihatmu berbuat baik terhadapku.” (HR. Bukhari)

Jagalah dirimu supaya tidak termasuk dalam golongan mereka. Hati-hatilah terhadap perbuatan kufur yang tidak engkau sadari.
“Camkanlah itu wahai anakku!” kata sang ibu.
Kepalanya menunduk. Tangannya mengusap ujung matanya dengan sepotong sapu tangan warna biru. Warnanya telah kabur. Sekabur pandangan matanya. Sang anakpun segera mendekap ibunya. Beberapa tetes embun bening, mengucur dari ujung matanya.

Subhanallah...
Semoga kita(para wanita) bisa menjadi seperti itu...

12 November 2009

Wajah 'kita' hari ini...



...teringat apa yang disampaikan oleh seorang kakak yg selalu berpesan "nggak boleh sombong..." beberapa saat yang lalu...
Rata Penuh
Sebuah web-of-problem yg sedemikian ruwetnya merupakan gambaran kondisi keperawatan Indonesia hari ini... [bingung juga mau mulai dari mana]

  • mentalitas perawat (tp nggak semua) yg sedemikian pasrah akan nasibnya sebagai pelaksana 'tindakan delegasi',,yang sangat bangga jika dipuji sebagai 'skillful nurse'... tapi melalaikan urgensi pelaksanaan 'tindakan mandiri'-nya... Lalu bagaimana mau nampak eksis sebagai sebuah profesi independen yg jelas mempunyai area tersendiri dalam perawatan klien???
  • kurangnya rasa percaya diri perawat saat diserahi amanah mengelola manajemen di institusi kesehatan juga menjadi tamparan keras bagi profesi mulia ini.. Kalo terus terjadi yang demikian,,, Lalu bagaimana mau nampak eksis sebagai sebuah profesi independen yg mempunyai kemampuan untuk mengatur dirinya dan yg lain???
  • pendirian institusi pendidikan keperawatan yg gila-gilaan... yang berani membuka peluang bagi peserta didik sebanyak mungkin... sementara tenaga pengajar amat sangat tidak mencukupi... Mau jadi apa lulusannya nanti??? padahal pendidikan merupakan gerbang pertama dan utama untuk memasuki sebuah profesi (termasuk keperawatan)...
  • di tataran pemegang kebijakan pun,,,profesi ini bak dianak-tirikan. arah kebijakan kesehatan Indonesia seakan tidak memberi ruang bagi perawat untuk 'muncul'. Teriakan para perawat dan calon2 perawat yg terus-menerus mendengungkan harapan untuk segera disahkannya RUU Keperawatan, nampaknya terdengar sedemikian lembut,, sedemikian terapeutik,, sehingga mereka yang mendengar malah jadi terlena karenanya...
Jadi,,bagaimana caranya agar teriakan perawat bisa membangunkan mereka yang tertidur dalam rapat dewan di gedung berkubah hijau itu??

Kalo begitu,,,dari mana kita mulai menggarap permasalahan2(itu cuma sebagian kecil lho!!) di atas???

Jawabnya,,, dengan 3M-nya aa' Gym...n_n (mulai dari yg kecil, mulai dari diri sendiri, mulai sekarang juga...)
Nah,,,kira2 apa saja yg bisa dipersiapkan oleh masing2 kita??
  • 'skillful nurse' itu jangan utk dijadikan tujuan,,,itu keWAJIBan bro!!!sist!!!
  • 'leadership 'n management skill' hendaknya bukan lagi fardhu kifayah hukumnya,,,melainkan fardhu 'ain ALIAS kewajiban buat semua yang menyandang profesi perawat... berani jadi perawat=berani jadi pemimpin!!!
  • bagi penyelenggara pendidikan,,, STOP mikir untung!!! utamakan kualitas daripada kuantitas... kalau kata seorang sahabat, "ngaca!!!ngaca!!!"
  • yang jadi mahasiswa keperawatan,, jangan pernah puas dengan nilai A mutlak dalam KHS atopun status CUMLAUDE yang kamu sandang,,,sebelum kamu tunjukkan prestasimu di bidang yang lain... Jadilah spesialis yang generalis...(lho?) maksudnya Spesialis=ners yg kompeten di bidangnya; Generalis=ners yg berwawasan luas,,bukan melulu di bidang keperawatan... Mengutip kata-kata Om James Bryan Conant yang bunyinya, "Behold the turtle. He makes progress only when he sticks his neck out".. begitulah.. Pengen belajar jadi ners yg spesialis sekaligus generalis??? banyak sarananya...(organisasi mahasiswa,,,buanyaaaak)
  • yang udah dapat gelar S.Kep., Ns.,,,, banyak tempat yg menanti anda jamah... bukan cuma di klinik/RS saja... masyarakat butuh anda... dunia pendidikan dan penelitian pun butuh anda... dinkes-depkes-dan kawan-kawannya juga menantikan kiprah anda...

Jadi,,,apa lagi yang ditunggu???

11 November 2009

Syukur


Makna sebuah titipan


Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku,
bahwa sesungguhnya ini hanya titipan,
bahwa mobilku hanya titipan Nya,
bahwa rumahku hanya titipan Nya,
bahwa hartaku hanya titipan Nya,
bahwa putraku hanya titipan Nya,

tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini pada ku?
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ?

Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah
kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa itu adalah derita.
Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,
aku ingin lebih banyak harta,
ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak rumah,
lebih banyak popularitas,
dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan,
Seolah semua "derita" adalah hukuman bagiku.

Seolah keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika :
aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan
Nikmat dunia kerap menghampiriku.

Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan Kekasih.
Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku", dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku,

Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah...
"ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja"

[WS Rendra]


>>>> itu makna 'titipan' bagi seorang "burung merak"....Lalu bagaimana dengan kita???? Sudahkah kita bijak memperlakukan 'titipan'-Nya???




SYUKUR...


Rasulullah Shollallahu Alaihi Wa Sallam dikenal sebagai abdan syakuura (hamba Allah yang banyak bersyukur). Setiap langkah dan tindakan beliau merupakan perwujudan rasa syukurnya kepada Allah.

Abu Hurairah Radhiallaahu anhu menceritakan: Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam biasa mengerjakan shalat malam hingga membengkak kedua telapak kakinya. Ada yang bertanya kepada beliau: “Wahai Rasulullah, mengapa Anda melakukan sedemikian itu, bukankah Allah telah mengampuni segala dosa Anda yang lalu maupun yang akan datang?” beliau menjawab: “Bukankah selayaknya aku menjadi seorang hamba yang bersyukur?” (HR. Ibnu Majah).

Kalau Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wa Sallam sendiri sebagai orang yang ma'sum atau terpelihara dari dosa saja merasa takut tidak termasuk kedalam golongan orang-orang yang bersyukur, apakah lalu kita yang berlumuran dosa ini tidak merasa malu untuk menerima pemberian-Nya tanpa mau bersyukur kapada-Nya? Sebagai orang mukmin kita tentu tidak ingin mengabaikan perintah Allah, sebagai mana tersirat dalam Al-Qur'an Surat An-Nahl;144, yang artinya "Bersyukurlah terhadap nikmat Allah, jika kamu sungguh-sungguh menyembah kepada-Nya".

Adapun tentang cara-cara bersyukur itu ada tiga macam, yaitu:

  1. bersyukur dengan hati. Maksudnya, ia merasa yakin bahwa segala macam kenikmatan itu datangnya dari Allah.

  2. "Dan apa saja ni'mat yang ada padamu, maka dari Allahlah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemadhorotan, maka hanya kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan".(Al-Nahl:53)


  3. Bersyukur dengan lisan. Maksudnya dengan memperbanyak bacaan Hamdalah (Al-Hamdulillah).

  4. "Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebutkannya (bersyukur)".(Adh-Dhuhaa:11)


  5. Bersyukur dengan semua anggota badan. cukup dengan meletakkan nikmat Allah secara 4S ( Sesuai dengan fungsi, Sesuai lokasi, Sesuai situasi, Secara optimal)




Suatu ketika Nabi memengang tangan Muadz bin Jabal dengan mesra seraya berkata :
"Hai Muadz, demi Allah sesungguhnya aku amat menyayangimu". Beliau melanjutkan sabdanya, "Wahai Muadz, aku berpesan, janganlah kamu tinggalkan pada tiap-tiap sehabis shalat berdo'a : Allahumma a'innii `alaa dzikrika wa syukrika wa husni `ibaadatika (Ya Allah,tolonglah aku agar senantiasa ingat kepada-Mu, mensyukuri nikmat-Mu, dan baik dalam beribadat kepada-Mu)".

Wallahu a'lam...


-dari berbagai sumber-

Tuhan Sembilan Senti


Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok, tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang tak merokok.

Di sawah petani merokok,
di pabrik pekerja merokok,
di kantor pegawai merokok,
di kabinet menteri merokok,
di reses parlemen anggota DPR merokok,
di Mahkamah Agung yang bergaun toga merokok,
hansip-bintara-perwira nongkrong merokok,
di perkebunan pemetik buah kopi merokok,
di perahu nelayan penjaring ikan merokok,
di pabrik petasan pemilik modalnya merokok,
di pekuburan sebelum masuk kubur orang merokok.

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im sangat ramah bagi perokok, tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok.

Di balik pagar SMU murid-murid mencuri-curi merokok,
di ruang kepala sekolah…ada guru merokok,
di kampus mahasiswa merokok,
di ruang kuliah dosen merokok,
di rapat POMG orang tua murid merokok,
di perpustakaan kecamatan ada siswa bertanya apakah ada buku tuntunan cara merokok.

Di angkot Kijang penumpang merokok,
di bis kota sumpek yang berdiri yang duduk orang bertanding merokok,
di loket penjualan karcis orang merokok,
di kereta api penuh sesak orang festival merokok,
di kapal penyeberangan antar pulau penumpang merokok,
di andong Yogya kusirnya merokok,
sampai kabarnya kuda andong minta diajari pula merokok.

Negeri kita ini sungguh nirwana kayangan para dewa-dewa bagi perokok, tapi tempat cobaan sangat berat bagi orang yang tak merokok.

Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita.

Di pasar orang merokok,
di warung Tegal pengunjung merokok,
di restoran, di toko buku orang merokok,
di kafe di diskotik para pengunjung merokok.

Bercakap-cakap kita jarak setengah meter tak tertahankan asap rokok,
bayangkan isteri-isteri yang bertahun-tahun menderita di kamar tidur
ketika melayani para suami yang bau mulut dan hidungnya mirip asbak rokok.

Duduk kita di tepi tempat tidur ketika dua orang bergumul saling menularkan HIV-AIDS sesamanya, tapi kita tidak ketularan penyakitnya. Duduk kita disebelah orang yang dengan cueknya mengepulkan asap rokok di kantor atau di stop-an bus, kita ketularan penyakitnya. Nikotin lebih jahat penularannya ketimbang HIV-AIDS.

Indonesia adalah sorga kultur pengembangbiakan nikotin paling subur di dunia, dan kita yang tak langsung menghirup sekali pun asap tembakau itu, bisa ketularan kena.

Di puskesmas pedesaan orang kampung merokok,
di apotik yang antri obat merokok,
di panti pijat tamu-tamu disilahkan merokok,
di ruang tunggu dokter pasien merokok,
dan ada juga dokter-dokter merokok.

Istirahat main tenis orang merokok,
di pinggir lapangan voli orang merokok,
menyandang raket badminton orang merokok,
pemain bola PSSI sembunyi-sembunyi merokok,
panitia pertandingan balap mobil, pertandingan bulutangkis, turnamen sepakbola mengemisngemis mencium kaki sponsor perusahaan rokok.

Di kamar kecil 12 meter kubik, sambil ‘ek-’ek orang goblok merokok,
di dalam lift gedung 15 tingkat dengan tak acuh orang goblok merokok,
di ruang sidang ber-AC penuh, dengan cueknya, pakai dasi, orang-orang goblok merokok.

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im sangat ramah bagi orang perokok, tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok.

Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita.

Di sebuah ruang sidang ber-AC penuh, duduk sejumlah ulama terhormat merujuk kitab kuning dan mempersiapkan sejumlah fatwa.
Mereka ulama ahli hisap.
Haasaba, yuhaasibu, hisaaban.
Bukan ahli hisab ilmu falak,
tapi ahli hisap rokok.

Di antara jari telunjuk dan jari tengah mereka terselip berhala-berhala kecil, sembilan senti panjangnya, putih warnanya, kemana-mana dibawa dengan setia, satu kantong dengan kalung tasbih 99 butirnya.

Mengintip kita dari balik jendela ruang sidang, tampak kebanyakan mereka memegang rokok dengan tangan kanan, cuma sedikit yang memegang dengan tangan kiri.
Inikah gerangan pertanda yang terbanyak kelompok ashabul yamiin dan yang sedikit golongan ashabus syimaal?

Asap rokok mereka mengepul-ngepul di ruangan AC penuh itu.
Mamnu’ut tadkhiin, ya ustadz. Laa tasyrabud dukhaan, ya ustadz.
Kyai, ini ruangan ber-AC penuh.
Haadzihi al ghurfati malii’atun bi mukayyafi al hawwa’i.
Kalau tak tahan, di luar itu sajalah merokok.

Laa taqtuluu anfusakum. Min fadhlik, ya ustadz.
25 penyakit ada dalam khamr. Khamr diharamkan.
15 penyakit ada dalam daging khinzir (babi). Daging khinzir diharamkan.
4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok. Patutnya rokok diapakan?

Tak perlu dijawab sekarang, ya ustadz. Wa yuharrimu ‘alayhimul khabaaith.
Mohon ini direnungkan tenang-tenang, karena pada zaman Rasulullah dahulu, sudah ada alkohol, sudah ada babi, tapi belum ada rokok.

Jadi ini PR untuk para ulama.
Tapi jangan karena ustadz ketagihan rokok, lantas hukumnya jadi dimakruh-makruhkan, jangan.

Para ulama ahli hisap itu terkejut mendengar perbandingan ini.
Banyak yang diam-diam membunuh tuhan-tuhan kecil yang kepalanya berapi itu, yaitu ujung rokok mereka.
Kini mereka berfikir. Biarkan mereka berfikir.
Asap rokok di ruangan ber-AC itu makin pengap, dan ada yang mulai terbatuk-batuk.

Pada saat sajak ini dibacakan malam hari ini, sejak tadi pagi sudah 120 orang di Indonesia mati karena penyakit rokok. Korban penyakit rokok lebih dahsyat ketimbang korban kecelakaan lalu lintas.

Lebih gawat ketimbang bencana banjir, gempa bumi dan longsor, cuma setingkat di bawah korban narkoba.

Pada saat sajak ini dibacakan, berhala-berhala kecil itu sangat berkuasa di negara kita,
jutaan jumlahnya, bersembunyi di dalam kantong baju dan celana, dibungkus dalam kertas berwarni dan berwarna, diiklankan dengan indah dan cerdasnya.

Tidak perlu wudhu atau tayammum menyucikan diri, tidak perlu ruku’ dan sujud untuk taqarrub pada tuhan-tuhan ini, karena orang akan khusyuk dan fana dalam nikmat lewat upacara menyalakan api dan sesajen asap tuhan-tuhan ini.

Rabbana, beri kami kekuatan menghadapi berhala-berhala ini.

24 Maret 2009

Yogyakarta dan Wisata Medika



"Wisata Medika"... masih asing dengan kata tersebut?? Yah,,,itu adalah sebuah gagasan yang disampaikan oleh seorang pengamat ekonomi di sebuah koran nasional... Singkatnya, berawal dari sebuah kota kecil di Amerika Serikat yang memiliki tempat pelayanan kesehatan yang super keren...(dalam segala aspek),,kemudian menjadi tujuan berobat orang-orang di seluruh dunia. Bukan hanya dari segi dokternya yang berkualitas, tapi tenaga kesehatan lain oke punya, peralatan yang memadai, sampai pada setting tempatnya yang bener-bener "back to nature" yang membuatnya menarik.

Nah,,sang penulis artikel itu kemudian membandingkan kondisi di Amrik sono dengan yang ada di salah satu Rumah Sakit swasta di Yogyakarta... intinya,,setelah sempat merasakan menginap selama beberapa hari di RS tersebut, setelah merasakan servis yang diberikan RS tidak kalah dengan hotel (hotel berbintang sekalipun), juga setelah mengeluarkan kocek yang tidak besar alias tarif RS yang relatif lebih terjangkau-dibandingkan dengan di daerah lain-, sang penulis kemudian berpikir,,, "Yogyakarta ini punya potensi lho,,, untuk jadi tujuan wisata medika..."

*merenung*
boleh juga tuh...ide bapak pengamat ekonomi yang satu ini!! modal yang dibutuhkan udah tersedia (dokter yg ga kalah hebat, perawat yg ga kalah terampil, sarana-prasarana yg lumayan, lingkungan yg masih -cukup- asri, tarif yang relatif lebih terjangkau, akses yang mudah juga...) hmm..... apa lagi yang kurang??? mungkin tinggal komitmen untuk merealisasikannya... jadi Jogja bukan cuma terkenal sebagai kota budaya & kota pelajar saja,,
PR nih,,, buat bapak-bapak di pucuk pimpinan jogja... monggo segera digarap...ntar keburu komitmennya menguap...




03 Maret 2009

Puncak


segores tulisan yang insyaAllah mengingatkan kita akan pencapaian-pencapaian dalam hidup,,,,
disadur dari www.eramuslim.com


Di sebuah dataran tinggi pada tepian hutan, seorang kakek tampak berbicara dengan tiga pemuda. Sesekali janggutnya yang lebat bergerak-gerak dipermainkan angin.
"Murid-muridku, aku akan mengujimu dengan puncak bukit di belakangku," ucap sang kakek sambil menoleh ke arah belakang. Tampak sebuah bukit hijau yang begitu tinggi. "Siapa yang bisa meraih puncak bukit itu, kalian lulus!" tambah sang kakek kemudian. "Tapi, ingat! Berhati-hatilah dengan bunga-bunga nan harum di sepanjang jalan setapak, ia bisa melemahkanmu."
"Baik, Guru!" jawab ketiga murid itu sambil bergegas menuju kaki bukit. Mereka pun mulai melakukan pendakian.

Di penghujung hari pertama, seorang murid tampak bergerak melambat. Ia begitu asyik menikmati keindahan bunga-bunga di sekelilingnya. "Hmm, indahnya. Andai aku bisa menghirup keharuman di balik keindahan bunga-bunga itu!" ucap sang murid sambil mendekati sebuah bunga. Dan, ia pun berhenti. Ia tampak berduduk santai sambil memegang beberapa kuntum bunga.

Di penghujung hari kedua, murid kedua yang mulai melambat. Ia memang tidak terpengaruh dengan keindahan bunga. Tapi, ia merasa begitu letih. Dan ia pun terduduk sambil menyaksikan murid ketiga yang terus bergerak ke puncak bukit. "Ah, andai aku bisa sekuat dia!" ucapnya sambil memijat-mijat kakinya yang tampak kaku. Dari arah itu, ia bisa melihat pemandangan luas pada lereng bukit.

"Kau lulus, muridku," ucap sang guru saat ketiganya tiba di kaki bukit. Murid ketiga tampak senyum. Sementara yang lain tetap terdiam. "Bagaimana kamu bisa terus mendaki, saudaraku?" tanya murid kedua kepada yang ketiga.

"Sederhana. Aku tidak pernah menoleh ke bawah. Pandanganku terus ke puncak bukit," jawab murid ketiga begitu mantap.
 
**

Para penggiat kebaikan paham betul kalau jalan hidup bukan sekadar ujian dan cobaan. Tapi juga perjuangan. Perjuangan agar bisa memberi dengan nilai yang paling tinggi.

Namun, di saat-saat lelah, segala kemungkinan bisa terjadi. Kalau cuma fisik yang lelah, langkah masih bisa diayunkan, walaupun lambat. Tapi jika hati yang letih, bunga-bunga yang lemah pun bisa memperdaya.
Itu pun masih belum cukup. Karena di saat lelah, orang kerap menoleh ke bawah. Ia pun dibuai fatamorgana prestasi, "Ah, ternyata aku sudah begitu tinggi mendaki!" Padahal, puncak yang ia tuju masih sangat jauh...

Wallahu a'lam

23 Februari 2009

Sebuah renungan tentang Takdir


Bukan kita yang memilih takdir, Takdirlah yang memilih kita.
Bagaimanapun, takdir bagaikan angin bagi seorang pemanah. Kita selalu harus mencoba untuk membidik dan melesatkannya di saat yang paling tepat.

-Salahuddin al Ayyubi-


Tak jarang terdengar ungkapan putus asa dari bibir makhluk yang diciptakan dengan sedemikian banyak kelebihan. Ungkapan-ungkapan itu meluncur begitu saja mengiringi suatu kejadian yang tak diharapkan terjadi. Ujung dari semua itu, hilangnya segala rasa syukur atas nikmat yang telah diberikan oleh-Nya. Dan yang biasa dijadikan apologi adalah ia yang bergelar takdir...

Sesungguhnya, apa yang disebut dengan takdir??

Takdir adalah suatu ketetapan akan garis kehidupan seseorang. Setiap orang lahir lengkap dengan skenario perjalanan kehidupannya dari awal hingga akhir. Hal ini dinyatakan dalam Qur'an bahwa segala sesuatu yang terjadi terhadap diri seorang sudah tertulis dalam lauhul mahfudz. Umat Islam memahami takdir sebagai bagian dari tanda kekuasaan Allah yang harus diimani. Secara sederhana takdir didefinisikan sebagai segala sesuatu yang sudah terjadi.

Untuk memahami konsep takdir, umat Islam tidak dapat melepaskan diri dari dua dimensi pemahaman takdir. Kedua dimensi yang dimaksud ialah dimensi ketuhanan dan dimensi kemanusiaan.
  • Dimensi ketuhanan
Dimensi ini merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al Quran yang menginformasikan bahwa Allah maha kuasa menciptakan segala sesuatu termasuk menciptakan Takdir.


  • Dimensi kemanusiaan
Dimensi ini merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al Quran yang meginformasikan bahwa Allah memperintahkan manusia untuk berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencapai cita-cita dan tujuan hidup yang dipilihnya.


Kesadaran manusia untuk beragama merupakan kesadaran akan kelemahan dirinya. Terkait dengan fenomena takdir, maka wujud kelemahan manusia itu ialah ketidaktahuannya akan takdirnya. Manusia tidak tahu apa yang sebenarnya akan terjadi. Kemampuan berfikirnya memang dapat membawa dirinya kepada perhitungan, proyeksi dan perencanaan yang canggih. Namun setelah diusahakan realisasinya tidak selalu sesuai dengan keinginannya. Manusia hanya tahu takdirnya setelah terjadi.

Oleh sebab itu sekiranya manusia menginginkan perubahan kondisi dalam menjalani hidup di dunia ini, Allah telah meperintahkan untuk berusaha dan berdoa untuk merubahnya, seperti termaktub dalam QS. Ar-ra'du : 11 yang artinya "... sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri...".


Usaha perubahan yang dilakukan oleh manusia itu, kalau berhasil seperti yang diinginkannya maka Allah melarangnya untuk menepuk dada sebagai hasil karyanya sendiri. Bahkan sekiranya usahanya itu dinialianya gagal dan bahkan manusia itu sedih bermuram durja menganggap dirinya sumber kegagalan, maka Allah juga menganggap hal itu sebagai kesombongan yang dilarang juga (Al Hadiid QS. 57:23).

Kesimpulannya, karena manusia itu lemah (antara lain tidak tahu akan takdirnya) maka diwajibkan untuk berusaha secara bersungguh-sungguh untuk mencapai tujuan hidupnya yaitu beribadah kepada Allah.


wallahu a'lam...

21 Februari 2009

Laa tahzan...

Belum lama ini ada sms masuk ke ponsel saya. Begini bunyinya : "betapa Allah ingin selalu membahagiakan kita,, di setiap kegundahan seolah Ia berkata: Tenanglah, teguhlah dan optimislah! karena di penghujung setiap malam, ada pagi yang cerah. Di balik setiap bukit ada taman. Di balik batu besar ada mata air yang sejuk. Setelah perjalanan jauh, ada sungai yang mengalir. Dan setelah kelelahan, ada tidur yang tenang, lelap, dan melapangkan..."

Allahuakbar!!!
Betapa Allah maha tahu apa yang dibutuhkan hamba-Nya...

Ditengah panasnya hati dan pikiran ini,,, tiba-tiba ada mata air sejuk memancar, mendinginkan suasana hati dan pikiran yang tengah membara.
Melalui perantara seorang saudara yang sama-sama sedang mendaki menuju puncak prestasi...

Dunia ini memang diciptakan dengan amat sempurna oleh Allah... Ia ciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan,, berputar silih berganti,, sehingga semua makhluk merasakan apa yang dirasakan makhluk lainnya... Sehingga manusia bisa belajar dan mengambil ibroh dari apa yang terjadi.

Setiap awal,, tentu akan datang akhir...
Setiap ada panas,, tentu akan hadir dingin...
dan setiap kesulitan,, tentulah akan diikuti dengan kemudahan...

Yakinlah itu wahai saudaraku...
Jika kau telah mengusahakan sesuatu dengan optimal,,, diiringi dengan lantunan doa yang tiada terputus,,, maka bertawakal-lah...
Sebab area hasil itu adalah hak prerogatif-Nya...

Jadi,,, teruslah berlari...
Kejar apa yang ingin kau raih...
Jangan hiraukan aral rintangan yang menghalangi jalanmu...
Jangan pernah biarkan rasa lemah dan takut menguasaimu...
Sebab kau dilahirkan sebagai pemenang...
Karena kau dilahirkan untuk terus berjuang...
Biarlah tetesan darah, keringat, dan air mata menghiasi hari-harimu...
Kemenangan dan kebahagiaan telah menunggumu di depan sana....

Laa tahzan,, walaa ta khouf... Innallaha ma'anna...




menulis itu.... mudah(??)

Seorang kakak pernah berkata, "sepintar apapun kamu, sefasih apapun kamu berdialektika,, orang tidak akan mengingatmu kalo kamu tidak pernah menunjukkan eksistensimu lewat tulisan..."
hmm.... kata-katanya membuatku tercenung....... berpikir...... iya,,,ya!!! tapi nulis kan nggak mudah...

haaaaah..... hapus semua pikiran buruk itu.... saatnya mencoba!!!!

ini tulisan pertamaku,,, tentang apa yang ada dalam pikiranku sekarang...
tentang banyak hal yang terjadi akhir-akhir ini...

Bertemu dan bekerja dalam satu tim dengan orang yang keras kepala, bagiku merupakan sebuah tantangan tersendiri. Tapi ini lain! orang paling keras kepala yang pernah kujumpai...
fiuuh...
Pertama kali bertemu,,, kusadari bahwa wataknya memang keras. Tapi saat itu yang nampak padanya adalah ketegasan dan keteguhannya memegang prinsip, namun tetap masih punya toleransi terhadap yang lain...
Tapi sekarang,,, entah apa yang membuatnya menjadi seseorang yang super keras mempertahankan pendapatnya, yang jika dilihat dari sudut pandang orang lain (termasuk aku) yang dibawanya adalah hal yang terlalu idealis, tapi tidak realistis!!
Bicara baik-baik,,sudah... bicara agak menohok,,juga sudah... haruskah aku bicara kasar??? duh... aku bukan tipe orang yang suka menyelesaikan masalah dengan cara seperti itu...

Aku jadi teringat pada salah satu benda yang setiap hari kujumpai...
Bentuknya yang beraneka ragam, warnanya pun bermacam-macam... tapi punya sifat yang sama.... keras!!! sama kerasnya dengan orang yang sedang kuceritakan...
benda itu adalah BATU...
Lalu kuingat pelajaran fisika saat masih SMP dulu...
Sekeras apapun batu itu, ia akan bisa meluruh jika terus menerus terkena tetesan air hujan...

Ahaa!!!!!!!
sepertinya hukum itu bisa kucoba terapkan dalam menghadapi "si Batu" ini...
Let's try....
kita akan lihat hasilnya nanti...