24 Maret 2009

Yogyakarta dan Wisata Medika



"Wisata Medika"... masih asing dengan kata tersebut?? Yah,,,itu adalah sebuah gagasan yang disampaikan oleh seorang pengamat ekonomi di sebuah koran nasional... Singkatnya, berawal dari sebuah kota kecil di Amerika Serikat yang memiliki tempat pelayanan kesehatan yang super keren...(dalam segala aspek),,kemudian menjadi tujuan berobat orang-orang di seluruh dunia. Bukan hanya dari segi dokternya yang berkualitas, tapi tenaga kesehatan lain oke punya, peralatan yang memadai, sampai pada setting tempatnya yang bener-bener "back to nature" yang membuatnya menarik.

Nah,,sang penulis artikel itu kemudian membandingkan kondisi di Amrik sono dengan yang ada di salah satu Rumah Sakit swasta di Yogyakarta... intinya,,setelah sempat merasakan menginap selama beberapa hari di RS tersebut, setelah merasakan servis yang diberikan RS tidak kalah dengan hotel (hotel berbintang sekalipun), juga setelah mengeluarkan kocek yang tidak besar alias tarif RS yang relatif lebih terjangkau-dibandingkan dengan di daerah lain-, sang penulis kemudian berpikir,,, "Yogyakarta ini punya potensi lho,,, untuk jadi tujuan wisata medika..."

*merenung*
boleh juga tuh...ide bapak pengamat ekonomi yang satu ini!! modal yang dibutuhkan udah tersedia (dokter yg ga kalah hebat, perawat yg ga kalah terampil, sarana-prasarana yg lumayan, lingkungan yg masih -cukup- asri, tarif yang relatif lebih terjangkau, akses yang mudah juga...) hmm..... apa lagi yang kurang??? mungkin tinggal komitmen untuk merealisasikannya... jadi Jogja bukan cuma terkenal sebagai kota budaya & kota pelajar saja,,
PR nih,,, buat bapak-bapak di pucuk pimpinan jogja... monggo segera digarap...ntar keburu komitmennya menguap...




03 Maret 2009

Puncak


segores tulisan yang insyaAllah mengingatkan kita akan pencapaian-pencapaian dalam hidup,,,,
disadur dari www.eramuslim.com


Di sebuah dataran tinggi pada tepian hutan, seorang kakek tampak berbicara dengan tiga pemuda. Sesekali janggutnya yang lebat bergerak-gerak dipermainkan angin.
"Murid-muridku, aku akan mengujimu dengan puncak bukit di belakangku," ucap sang kakek sambil menoleh ke arah belakang. Tampak sebuah bukit hijau yang begitu tinggi. "Siapa yang bisa meraih puncak bukit itu, kalian lulus!" tambah sang kakek kemudian. "Tapi, ingat! Berhati-hatilah dengan bunga-bunga nan harum di sepanjang jalan setapak, ia bisa melemahkanmu."
"Baik, Guru!" jawab ketiga murid itu sambil bergegas menuju kaki bukit. Mereka pun mulai melakukan pendakian.

Di penghujung hari pertama, seorang murid tampak bergerak melambat. Ia begitu asyik menikmati keindahan bunga-bunga di sekelilingnya. "Hmm, indahnya. Andai aku bisa menghirup keharuman di balik keindahan bunga-bunga itu!" ucap sang murid sambil mendekati sebuah bunga. Dan, ia pun berhenti. Ia tampak berduduk santai sambil memegang beberapa kuntum bunga.

Di penghujung hari kedua, murid kedua yang mulai melambat. Ia memang tidak terpengaruh dengan keindahan bunga. Tapi, ia merasa begitu letih. Dan ia pun terduduk sambil menyaksikan murid ketiga yang terus bergerak ke puncak bukit. "Ah, andai aku bisa sekuat dia!" ucapnya sambil memijat-mijat kakinya yang tampak kaku. Dari arah itu, ia bisa melihat pemandangan luas pada lereng bukit.

"Kau lulus, muridku," ucap sang guru saat ketiganya tiba di kaki bukit. Murid ketiga tampak senyum. Sementara yang lain tetap terdiam. "Bagaimana kamu bisa terus mendaki, saudaraku?" tanya murid kedua kepada yang ketiga.

"Sederhana. Aku tidak pernah menoleh ke bawah. Pandanganku terus ke puncak bukit," jawab murid ketiga begitu mantap.
 
**

Para penggiat kebaikan paham betul kalau jalan hidup bukan sekadar ujian dan cobaan. Tapi juga perjuangan. Perjuangan agar bisa memberi dengan nilai yang paling tinggi.

Namun, di saat-saat lelah, segala kemungkinan bisa terjadi. Kalau cuma fisik yang lelah, langkah masih bisa diayunkan, walaupun lambat. Tapi jika hati yang letih, bunga-bunga yang lemah pun bisa memperdaya.
Itu pun masih belum cukup. Karena di saat lelah, orang kerap menoleh ke bawah. Ia pun dibuai fatamorgana prestasi, "Ah, ternyata aku sudah begitu tinggi mendaki!" Padahal, puncak yang ia tuju masih sangat jauh...

Wallahu a'lam