11 November 2009

Syukur


Makna sebuah titipan


Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku,
bahwa sesungguhnya ini hanya titipan,
bahwa mobilku hanya titipan Nya,
bahwa rumahku hanya titipan Nya,
bahwa hartaku hanya titipan Nya,
bahwa putraku hanya titipan Nya,

tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini pada ku?
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ?

Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah
kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa itu adalah derita.
Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,
aku ingin lebih banyak harta,
ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak rumah,
lebih banyak popularitas,
dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan,
Seolah semua "derita" adalah hukuman bagiku.

Seolah keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika :
aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan
Nikmat dunia kerap menghampiriku.

Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan Kekasih.
Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku", dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku,

Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah...
"ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja"

[WS Rendra]


>>>> itu makna 'titipan' bagi seorang "burung merak"....Lalu bagaimana dengan kita???? Sudahkah kita bijak memperlakukan 'titipan'-Nya???




SYUKUR...


Rasulullah Shollallahu Alaihi Wa Sallam dikenal sebagai abdan syakuura (hamba Allah yang banyak bersyukur). Setiap langkah dan tindakan beliau merupakan perwujudan rasa syukurnya kepada Allah.

Abu Hurairah Radhiallaahu anhu menceritakan: Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam biasa mengerjakan shalat malam hingga membengkak kedua telapak kakinya. Ada yang bertanya kepada beliau: “Wahai Rasulullah, mengapa Anda melakukan sedemikian itu, bukankah Allah telah mengampuni segala dosa Anda yang lalu maupun yang akan datang?” beliau menjawab: “Bukankah selayaknya aku menjadi seorang hamba yang bersyukur?” (HR. Ibnu Majah).

Kalau Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wa Sallam sendiri sebagai orang yang ma'sum atau terpelihara dari dosa saja merasa takut tidak termasuk kedalam golongan orang-orang yang bersyukur, apakah lalu kita yang berlumuran dosa ini tidak merasa malu untuk menerima pemberian-Nya tanpa mau bersyukur kapada-Nya? Sebagai orang mukmin kita tentu tidak ingin mengabaikan perintah Allah, sebagai mana tersirat dalam Al-Qur'an Surat An-Nahl;144, yang artinya "Bersyukurlah terhadap nikmat Allah, jika kamu sungguh-sungguh menyembah kepada-Nya".

Adapun tentang cara-cara bersyukur itu ada tiga macam, yaitu:

  1. bersyukur dengan hati. Maksudnya, ia merasa yakin bahwa segala macam kenikmatan itu datangnya dari Allah.

  2. "Dan apa saja ni'mat yang ada padamu, maka dari Allahlah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemadhorotan, maka hanya kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan".(Al-Nahl:53)


  3. Bersyukur dengan lisan. Maksudnya dengan memperbanyak bacaan Hamdalah (Al-Hamdulillah).

  4. "Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebutkannya (bersyukur)".(Adh-Dhuhaa:11)


  5. Bersyukur dengan semua anggota badan. cukup dengan meletakkan nikmat Allah secara 4S ( Sesuai dengan fungsi, Sesuai lokasi, Sesuai situasi, Secara optimal)




Suatu ketika Nabi memengang tangan Muadz bin Jabal dengan mesra seraya berkata :
"Hai Muadz, demi Allah sesungguhnya aku amat menyayangimu". Beliau melanjutkan sabdanya, "Wahai Muadz, aku berpesan, janganlah kamu tinggalkan pada tiap-tiap sehabis shalat berdo'a : Allahumma a'innii `alaa dzikrika wa syukrika wa husni `ibaadatika (Ya Allah,tolonglah aku agar senantiasa ingat kepada-Mu, mensyukuri nikmat-Mu, dan baik dalam beribadat kepada-Mu)".

Wallahu a'lam...


-dari berbagai sumber-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar