19 Januari 2011

Antara Sleman dan Magelang...

Bismillah...

Kegiatan rutin saya setiap akhir pekan adalah kembali ke kampung halaman. Maklum, perantau dari daerah sebelah.. Kalo nggak pulang malah kesannya rada gimanaa gitu. Lagipula, 1 or 1,5 jam perjalanan juga sampe koq..

Seperti biasa, transJogja disambung bus jurusan Yogya-Semarang senantiasa menjadi tumpangan saya. Bus ekonomi nan nyaman.. terbukti dari banyaknya (baca: berjejal) penumpang dengan berbagai macam profesi, beragam bawaan, serta beraneka aroma. Benar2 Indonesia.. ^_^

Seperti biasa pula, saya selalu membawa bekal seperti buku, majalah, atau earphone (utk ditencepin ke HP) tak lain untuk teman perjalanan saya. Kadang memang jumpa 'teman' yang bisa diajak ngobrol sepanjang perjalanan. Namun, menurut pengamatan saya setiap perjalanan sore sangat jarang saya dapati orang2 yang suka ngobrol. Hmm.. mungkin mereka sudah lelah, atau pikirannya sudah tidak lagi di bus tapi sudah melayang ke rumah.

Sore itu (16/1) saya agak was-was, adakah perjalanan pulang saya akan lancar atau sedikit melambat? Khawatir kalau harus putar jalur akibat Kali Putih meluap lagi, mengingat hujan setia mengguyur Jogja dan kawasan merapi hampir sepanjang hari. Tapi Alhamdulillah, bus saya cuma harus memperlambat jalannya saja ketika melintas di jalanan Jumoyo.

Dalam perjalanan sore itu, ada tiga hal yang menarik perhatian saya, yaitu :
1. buku bacaan yang saya bawa
2. seorang ibu yang menggendong anaknya
3. langit di ufuk barat

Tentang buku bacaan saya, ya.. buku ringan sebenarnya. Ringan massanya, ringan bahasanya, ringan pula bahasannya. Tapi yang membuat saya tertarik adalah saking ringan & saking biasanya yang dibahas, jadi mengingatkan saya akan banyak hal yang -bisa jadi- selama ini kurang terperhatikan. Buku setebal 228 halaman terbitan "Anomali" ini berisi sindiran-sindiran buat pembacanya. Saya cuma bisa senyum-senyum, menelan ludah, sambil terus melahap lembar demi lembarnya. Penasaran? silakan aja kalo mau baca juga.. Judulnya "Jangan Sadarin Jilbaber". 

Bagi yang belum baca, boleh cari di toko buku terdekat/ agennya, atau pinjang ke yang punya tuh buku. Nah, bagi yang udah pernah baca, semoga ndak capek baca lagi..
Bukankah yang namanya nasihat itu terus dibutuhkan? 
Bukankah yang namanya pengingat itu juga tak mungkin tak dibutuhkan? 
Manusia 'kan tempatnya lupa... So..^_^

Then... Tentang seorang Ibu dengan anaknya. Di sela-sela asyiknya membaca, fokus saya terpecah oleh pembicaraan seorang ibu dan kondektur bus yang nampaknya agak sedikit 'panas'.
Secara kasat mata, ibu tersebut seperti para ibu pada umumnya. Kalo secara tak kasat mata, ya saya ndak tahu lah.. Tapi intinya, beliau mengingatkan saya pada karakter khas seorang ibu, memberikan yang terbaik untuk buah hatinya
Beliau memilih untuk berdiri meskipun ada beberapa bangku kosong di sekeliling tempat beliau berpijak.  Putri kecil dalam gendongannya selalu menangis setiap kali ibunya menempelkan pantatnya ke kursi. Alhasil, beliau terus berdiri sepanjang jalan Jogja-Magelang. Beberapa kali beliau harus merubah posisi berdirinya, sebab ada orang yang hendak lewat. Berulang kali pula beliau harus menelan pahitnya cacian dari pak kondektur, sebab 'tak mau diatur' (baca: tak mau disuruh duduk). 

Yang membuat saya gemas di sini adalah, kenapa ibu itu tidak mengatakan dengan jelas bahwa anaknya tidak mau diajak duduk. Setiap kali diminta duduk (dari nada halus hingga kasar) oleh pak kondektur yg terus mondar-mandir, beliau cuma menjawab "wong mboten purun kok" (artinya kira2: "tidak mau kok"), tanpa memperjelas siapa yang sebenarnya tidak mau.. dia atau anaknya. Itu beliau lakukan berkali-kali. Jadilah pak kondektur ngedumel sepanjang jalan, yang tentu saja omelannya dialamatkan kepada si ibu tadi.

Aah... ibu itu... 
Saya berpikir, kalimat itu memang sengaja dipilih oleh ibu itu atau asal menjawab saja ya?
Maksud saya begini.. Jika beliau memang asal menjawab, ya mungkin memang  mau sekenanya saja mencari kata. Biar cepat terjawab, begitu...
Tapi, kalau sengaja memilih kalimat tersebut tanpa menunjuk bahwa anaknya-lah yang tidak mau diajak duduk, saya cuma bisa berucap Subhanallah... Jika demikian, berarti 'kan beliau tidak ingin anaknya 'dipersalahkan' atas kondisi ini. Cara kasarnya, biarlah segala kesalahan ditanggung ibu. hmmm....

Selanjutnya, tentang langit di ufuk barat...
Belum lama lepas dari daerah Salam yang memaksa -hampir semua- kendaraan untuk jalan merayap, langit yang memayungi bus saya mulai gelap. Senja menjelang.. Petang segera datang.. Pencahayaan di bus-pun kian berkurang.. Aktivitas membaca terpaksa saya hentikan, tak ingin rabun ini bertambah.. >.<"
Sedikit stretching, lalu tengak-tengok ke kanan dan ke kiri... Siapa tahu ada yang menarik..
Benar saja, saat menoleh ke kiri, memandang keluar jendela... Subhanallah... jauh di ufuk barat sana, langitnya cantiiiik sekali. Kombinasi warnanya itu... mulai dari warna hitam gelap (awan plus karena malam tiba), lalu biru gelap pula (biru dongker, kata orang), disambung biru langit (warnanya lebih muda dari sebelumnya), makin ke barat langitnya berwarna putih terang, dan di batas cakrawala ada warna orange menyala. Silakan bayangnya keindahannya... hehe.. 
Jarang saya jumpai lukisan langit seperti senja itu. Biasanya 'kan warnanya 'belang-belang', jadi biru-putih-orange-nya campur-campur begitu, bukan bergradasi yg bertingkat-tingkat seperti yang saya ceritakan. Sayang,, saya tidak sempat mengabadikan keindahan langit ufuk barat sore itu, saking asyiknya memandangi 'mereka'...
Berharap jumpa lembayung senja dengan komposisi serupa di lain hari.. Aamiin..



Sekian catatan perjalanan (yang tertunda) kali ini.. ^__^
Semoga kita tak lelah menjadi pemulung (pemungut ulung) setiap hikmah yang terserak di sepanjang jalan yang kita lalui. Mari lebih membuka mata, telinga, dan hati untuk terus mengisi 'teko diri', biar lebih banyak yang bisa kita 'tuang', lebih banyak yang bisa kita bagi..

3 komentar:

  1. hmm...langit senja selalu indah
    meski sehabis hujan ^^

    BalasHapus
  2. kenapa memilih kata 'meski'?
    Bukankah hujan itu senantiasa menyimpan keindahan dan inspirasi??

    BalasHapus
  3. wah, baru liat blognya mbak tika...
    dulu naning juga pernah liat tu,ibu2 yang berdiri gara2 anaknya nangis kalo ibunya duduk...
    dan ibu itu duduk di sebelah naning. dan tiap anaknya nangis, pasti pas habis liat aku!!!!
    doeng... gyahahaha

    BalasHapus